Selasa, 28 Oktober 2014

Kejujuran Ilmiah

Dari Al-Quran dan hadis dapat ditemukan puluhan petunjuk mengenai sikap ilmiah yang sangat diperhatikan oleh para ulama dan cendikiawan Muslim, sehingga pada akhirnya menjadi tradisi keilmuan mereka. Salah satu di antaranya adalah kejujuran ilmiah.


Kejujuran ilmiah melahirkan, antara lain, pernyataan "Allahu a'lam" (Allah lebih mengetahui) setiap selesai merampungkan suatu karya ilmiah, dan menjawab "saya tidak tahu" setiap disodorkan pertanyaan yang mereka tidak ketahui secara persis jawabannya. Bahkan, bisa jadi, tidak memberi jawaban -- walaupun mereka tahu -- jika di antara yang hadir ada yang lebih mendalam ilmunya.

Al-Quran menjadikan kata "aku (kami) tidak tahu" sebagai jawaban yang harus diucapkan oleh orang yang tidak mengetahui meskipun ia seorang pakar, Nabi atau Rasul, bahkan malaikat yang berada di sisi Tuhan sekalipun.

Seseorang yang disodorkan kepadanya suatu pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya, hanya mempunyai tiga pilihan: Pertama, menjawab dengan membohongi dirinya sendiri serta si penanya. Kedua, berusaha meyakinkan dirinya dan si penanya dengan memberikan jawaban yang tidak pasti berdasarkan dugaan, sedangkan dugaan menurut Al-Quran tidak bermanfaat sedikit pun terhadap kebenaran (lihat QS 53: 28). Ketiga, bersikap jujur dengan berkata, "Saya tidak tahu." Jawaban yang demikian inilah yang diberikan oleh Nabi saw. setiap diajukan kepada beliau suatu pertanyaan yang sangat tidak diketahui duduk perkaranya. Nabi bahkan bersabda: "Bukti pengetahuan seseorang adalah menjawab (dengan jawaban) 'saya tidak tahu'."

Sikap yang demikian tertanam di kalangan ilmuwan Muslim masa lampau. Empatpuluh pertanyaan pernah diajukan kepada Imam Malik, tigapuluh enam di antaranya dijawab dengan "saya tidak tahu."

Dalam banyak karya ilmiah lama, ditemukan pesan berikut kepada para pembacanya: "Saudara (pembaca) kuperkenankan meriwayatkan (menyalin) kandungan karya ini dengan syarat ketelitian serta menyatakan 'tidak tahu dalam hal-hal yang Anda tidak ketahui'."

Baiklah kita bandingkan tradisi keilmuan di atas dengan keadaan kita masa kini.

Sekian banyak di antara kita yang berbicara tentang segala macam ilmu -- umum atau agama -- seakan-akan tidak dikenal lagi spesialisasi. Sekian banyak di antara kita yang menjawab dengan sangat fasih dan lancar, atau terlibat dalam pembicaraan yang kita tidak ketahui ujung pangkalnya. Sikap semacam inilah yang melahirkan isu bahkan fatwa-fatwa yang keliru dan menyesatkan.

Agaknya, tradisi keilmuan masa lampau ini perlu kita galakkan pada tradisi keilmuan modern sekarang ini. Perkembangan IPTEK harus menjadikan kita tidak malu berkata, "saya tidak tahu." Wallahu a'lam.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 349-351
..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar