Kamis, 23 Oktober 2014

Keadilan

Tidak dapat disangkal bahwa keadilan, dalam segala aspeknya, merupakan dambaan setiap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, semua agama mengajarkannya bahkan memerintahkan manusia berlaku adil, walau terhadap dirinya sendiri.


Ada yang berpandangan bahwa berbuat baik dengan jalan mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan pihak lain atau membalas kejahatan dengan kebaikan lebih tinggi nilainya daripada keadilan. Pandangan ini benar dalam hubungan antarindividu, namun keliru dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu sila dari asas kehidupan bermasyarakat adalah keadilan, sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi keadilan—seperti berbuat baik terhadap yang bersalah—akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya Nabi saw. menolak pemberian maaf bagi seorang pencuri setelah diajukan ke Pengadilan, walaupun pemilik harta yang dicuri memaafkannya. “Seharusnya pemaafan itu engkau berikan sebelum tertuduh diadili.”

Keadilan harus ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan tegas. Kitab Suci Al-Quran menggandengkan “timbangan” (alat ukur yang adil) dengan “besi” yang digunakan sebagai senjata, sebagai isyarat bahwa senjata adalah salah satu cara atau alat untuk menegakkan keadilan (baca QS 57: 25).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian, melakukan jasa-jasa baiknya di banyak negara. Sekadar sebagai contoh, kita sebut saja Irak dan Kamboja. Ketika terjadi Perang Teluk 1992, PBB turun tangan meskipun akhirnya gagal. Dari kegagalan ini, tentara "sekutu" di bawah pimpinan AS, atas nama PBB, melakukan tindakan tegas yang mengakibatkan pecahnya perang. Setelah kekalahan Irak, sekutu yang juga masih mengatasnamakan lembaga dunia itu, menetapkan syarat-syarat bahkan tindakan-tindakan yang dinilai oleh sementara pihak sebagai telah melampaui batas kewajaran dan keadilan.

Bukan sisi politis atau militer yang akan diangkat di sini, bukan pula perselisihan antara Irak dan Amerika, apalagi antara pribadi Bush dan Saddam. Yang ingin saya angkat adalah nilai-nilai Al-Quran yang berkaitan dengan keadilan yang diharapkan dapat menyinari sikap hidup kita, khususnya dalam menghadapi atau menilai sebuah kasus.

Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, maka lakukanlah ishlâh (perdamaian) antara keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi (ambil tindakan tegas) terhadap yang membangkang, sehingga menerima ketetapan Allah (ishlâh) (QS 49: 9).

Demikian sebagian ayat Al-Quran yang dapat dikatakan sejalan dengan sikap PBB (sekutu) terhadap Irak. Namun, ada lanjutan ayat ini yang perlu mendapat perhatian setiap pihak, yang terlibat dalam perdamaian, apalagi yang mengambil sikap tegas.

Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada lanjutan ayat ini dengan "keharusan berlaku adil". Karena, walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak dari awal proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan bagi para juru damai setelah mereka terlibat dalam tindakan yang tegas terhadap kelompok pembangkang. Sebab, dengan tindakan tersebut, besar kemungkinan ia pun mengalami kerugian, baik harta, jiwa, atau---paling tidak---harga diri akibat ulah para pembangkang.

Keadilan seperti itulah yang seringkali kabur di celah aktivitas manusia walaupun dengan dalih mengupayakan perdamaian.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 346-348
..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar